Friday, December 13, 2013

Mensejahterakan Petani Melalui Pembiayaan Syariah

        Mensejahterakan Petani Melalui Pembiayaan Syariah
Achlita Dewinta Fajrin
STEI TAZKIA

Menurut data BPS pada tahun 2012, jumlah masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani masih dominan, yakni 39%. Namun, sebenarnya jumlah masyarakat bermata pencaharian sebagai petani berkurang 7,42% dari tahun sebelumnya. Usia mereka rata-rata 45 tahun, danini mengindikasikan teknologi pertanian seperti jalan ditempat.Sedangkan, kebutuhan pangan dari hari ke hari kian meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia.
Fakta ini merupakan hal yang sangat ironis, mengingat Indonesia adalah sebuah negara agraris yang sangat tepat tanahnya digunakan untuk lahan pertanian. Tanahnya yang subur, curah hujan yang baik untuk pertanian, dan wilayahnya yang tepat di garis ekuator mendukung Indonesia menjadi negara yang berpotensi besar untuk menjadi kaya akan hasil pertanian. Tentu semua itu tidak lepas dari peran seorang petani yang menggarap dan memelihara tanah perntanian.
Namun, pekerjaan seorang petani di Indonesia tidaklah mendapatkan penghargaan yang cukup. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kesejahteraan petani yang jauh dari cukup. Hal ini membuat pekerjaan sebagai petani terkesan rendahan, sehingga sedikit orang yang ingin menjadi seorang petani. Padahal pertanian sangat penting sebagai penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sekitar 15% per tahunnya, sumber devisa, bahan baku industri, penyediaan bahan pangan dan gizi, serta sebagai pendorong sektor-sektor ekonomi riil lainnya di Indonesia.
Ketidaksejahteraan para petani ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya banyaknya tengkulak, tidak tercapainya target panen, konversi lahan, pembiayaan dalam bidang pertanian, kurangnya pengetahuan tentang pertanian secara global ataupun tentang perekonomian dan lain-lain. Pemerintah sendiri sebenarnya telah memberikan subsidi dan bantuan lain di bidang pertanian walaupun tidak sebesar sector yang lainnya.
Salah satu faktor penyebab ketidaksejahteraan petani adalah perluasan industri dengan mendirikan cabang perusahaan mengakibatkan lahan pertanian semakin terkonversi demi membangun perusahan-perusahan baru dengan harapan meningkatkan keuntungan perusahaan. Para pemilik modal tidak pernah berpikir dampak dari menyempitnya lahan pertanian terutama peran strategis dalam penyediaan gizi/nutrisi untuk tenaga kerja agar meningkatkan produktivitas dan ketahanan pangan. Jika dibiarkan terus-menerus, maka pangan dalam negeri akan dipenuhi oleh produk pertanian impor, akibatnya Indonesia menjadi semakin ketergantungan dengan pihak asing.
Kurangnya pembiayaan dalam mengembangkan usaha pertanian menjadi penghalang untuk mensejahterakan para petani. Mereka kesulitan untuk memiliki alat-alat pendukung untuk menggarap tanah pertaniannya, karena biaya yang tinggi. Jika petani meminjam ke bank, mereka akan kesulitan dengan persyaratan, produk-produk bank yang rumit dan petani harus memiliki jaminan agar dapat diberikan pinjaman. Selain itu, bank juga enggan memberikan pinjaman karena dianggap rawan menunggak.
Selain bank, petani juga memiliki pilihan lain untuk mendapatkan pembiayaan. Mereka yang tidak mau meminjam ke bank akan terpaksa meminjam pada rentenir. Hal ini justru akan semakin mencekik perekonomian petani karena bunga yang diberikan membuat modal yang dipinjam menjadi berkali-kali lipat dan sering kali tidak dapat dibayarkan. Akhirnya rentenir akan menyita kekayaan petani atau menjual aset mereka.
Menurut data Kementerian Pertanian, di Indonesia 90% biaya untuk bertani ditanggung sendiri oleh petani. Hanya 7% yang merupakan pembiayaan sector informal, termasuk pembiayaan oleh rentenir, dan perbankan hanya mampu menyumbang 1% hingga 2% pembiayaan pertanian. Dari data September 2010 Kementrian Pertanian, jumlah pembiayaan sector pertanian adalah sebesar Rp 87,63 triliun atau sekitar 5% dari total pembiayaan yang diberikan bank umum (sekitar Rp 1.750 triliun), sedangkan kredit UKM sector pertanian hanya Rp 20,13 triliun atau 2,2% dari total kredit UKM yang disalurkan bank umum dan BPR (Ibrahim Aji, Sharing, Edisi 75, Maret 2013: 41-42).
Pinjaman atau kredit untuk petani dianggap dapat meningkatkan pendapatan dan kesempatan dalam mengelola usahanya. Ini adalah tugas dari lembaga keuangan seperti bank dan yang sejenis untuk menyalurkan pinjaman atau kredit. Tetapi lebaga keuangan tersebut tidak tertarik karena nilai transaksi yang kecil dan beresiko tinggi (Harmi, 2000:2).  Selain itu para petani pun kesulitan karena produk bank yang rumit dan pengetahuan petani yang kurang terhadap bank, sehingga bank yang telah banyak berdiri ini dirasakan kurang sesuai untuk petani. Seharusnya, fitur-fitur atau produk perbankan lebih menyesuaikan dengan petani, bukan sebaliknya.
Teori dua faktor Herzberg mengasumsikan bahwa ada beberapa ciri pekerjaan dan karakteristik dapat menghasilkan motivasi. Herzberg memandang bahwa kepuasan kerja berasal dari keberadaan motivator. Faktor-faktor itu meliputi upah, kondisi kerja, keamanan kerja, status, prosedur perusahaan, mutu penyeliaan, mutu hubungan interpersonal antarsesama rekan kerja, atasan, dan bawahan (Edy Muspriyanto, http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/11/179899/, akses 18 Juni 2013). Dari teori tersebut, jika upah petani dapat ditingkatkan maka akan memunculkan kembali kepercayaan diri petani dan akan membuat status petani tidak lagi dipandang sebelah mata.
Sekarang ini mulai terlihat berkembangnya lembaga-lembaga keuangan syariah yang diharapkan dapat membantu petani dan masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah dalam membantu pembiayaan usaha mereka. Kemudian bagaimanakah lembaga-lembaga pembiayaan syariah dapat membantu petani?
Peran Lembaga Zakat
Yang pertama, pembiayaan pertanian dapat memanfaatkan jalur zakat-sedekah-wakaf melalui Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang bekerja sama dengan Kementrian Pertanian. Dengan demikian, dapat terdata petani-petani yang benar-benar memerlukan bantuan dan dapat dibina serta diberi penyuluhan untuk mengembangkan usahanya, selain itu dapat diberikan penyuluhan untuk menjauhi hal-hal yang dianggap dapat mengganggu kesejahteraan mereka. Dalam hal ini diperlukan adanya pengawasan untuk memastikan perputaran zakat dikembangkan menjadi zakat produktif.
Koperasi Syariah
            Melalui koperasi, para petani akan lebih ringan dalam membiayai keperluan dalam usahanya, seperti harga jual yang lebih tinggi untuk produk anggota dan harga beli barang pendukung produksi menjadi lebih murah, dapat menghemat atau menekan biaya operasi usaha, kenaikan produktifitas usaha, karena memperoleh informasi pasar, teknologi yang lebih tepat dari koperasi dan memperoleh peningkatan pengetahuan, keterampilan, tumbuhnya manfaat kekeluargaan, tanggung jawab dan harga diri (Kusumah, 1987). Maanfaat ekonomi yang diperoleh anggota dapat berasal dari pembelian barang atau pengadaan jasa bersama serta pemasaran dan pengolahan bersama (Rusidi dan Suratman, 2002).
            Dari pernyataan di atas, koperasi seperti membentuk paguyuban petani yang dapat membantu mereka agar tidak ketergantungan kepada tengkulak dan dapat meminimalisasi praktek tengkulak yang dilarang oleh agama. Petani juga bisa menjual hasil pertaniannya dengan harga yang pantas. Hal tersebut juga membantu negara agar terhindar dari inflasi yang berlebihan pada harga bahan pokok.Koperasi syariah atau biasa dikenal BMT, merupakan koperasi yang berdasarkan pada prinsip syariah atau prinsip agama Islam. Pada prinsip ini melarang adanya sistem bunga (riba) yang memberatkan nasabah, maka koperasi syariah berdiri berdasarkan kemitraan pada semua aktivitas atas dasar kesetaraan dan keadilan.
Pada koperasi konvensional, mereka memberikan bunga pada setiap nasabah sebagai keuntungan koperasi. Ini akan memberatkan petani jika pengembalian pinjaman dilakukan dalam waktu yang lama, karena bunga akan terus bertambah seiring bertambahnya waktu untuk pelunasan pinjaman. Hal tersebut sama dengan meminjam pada rentenir. Koperasi konvensinal juga memberlakukan system kredit barang atau uang pada penyaluran produknya, maksudnya adalah koperasi konvensional tidak mengetahui apakah uang atau barang yang digunakan para nasabah untuk melakukan usaha mengalami rugi atau tidak. Nasabah harus tetap mengembalikan uang sebesar yang dipinjam ditambah bunga yang telah ditetapkan.
Sedangkan pada koperasi syariah, bagi hasil adalah cara yang diambil untuk melayani para nasabahnya. Bagi hasil ditentukan diawal sebagai perjanjian dan biaya yang akan dibayarkan dari pihak peminjam akan tetapi, tidak akan bertambah walaupun pengembaliannya dalam jangka waktu yang lama. Bagi hasil juga hanya berlaku sekali sehingga dirasakan akan meringankan petani atau nasabah yang lain.Inti dari system ini adalah menghapuskan praktek rentenir/lintah darat yang membebani masyarakat.
Koperasi syariah tidak mengkreditkan barang-barangnya, melainkan menjualnya secara tunai maka transaksi jual beli atau yang dikenal dengan murabahah terjadi pada koperasi syariah. Uang atau barang yang dipinjamkan kepada para nasabah pun tidak dikenakan bunga, melainkan bagi hasil (mudharabah). Jika nasabah mengalami kerugian, koperasi pun mendapatkan pengurangan pengembalian uang, dan sebaliknya. Koperasi tidak diperbolehkan meminta keuntungan jika nasabahnya mengalami kerugian, jika ada keuntungan pun yang dimaksud bagi hasil adalah setelah diketahui keuntungan bersihnya, jadi profit sharing bukan revenue sharing.
            Dalam praktek pada baitul mal watamwil (BMT) juga terdapat akad as-salam dan penggunaannya diperuntukan bagi petani, dimana BMT menyalurkan pembiayaan dan berposisi sebagai pemesan barang yang diproduksi petani. Ketika masa panen tiba, petani menyerahkan produksi pertanian kepada bank sesuai dengan yang telah disepakati. Produk lainnya yang dimiliki oleh koperasi syariah atau BMT ini masih banyak, tidak sekedar murabahah, mudharabah atau akad salam saja dan semua produk dirasakan sangat suitable dengan petani maupun masyarakat ekonomi menengah ke bawah lainnya. Berbeda dengan koperasi konvensional, koperasi syariah dapat juga berfungsi sebagai institusi Ziswaf.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan hadirnya beberapa lembaga syariah seperti lembaga zakat dan koperasi syariah mampu untuk membantu dan mensejahterakan para petani dalam mengembangkan usahanya. Pembiayaan tersebut disesuaikan dengan keadaan mereka, yaitu memenuhi prinsip kebutuhan, fleksibel, bersifat partisipatif sehingga dapat menyerap aspirasi petani, akomodatif, adanya penguatan agar jangan sampai menciptakan ketergantungan, kemitraan dengan penyedia sarana produksi atau stakeholder, dan keberlanjutan untuk tetap terus berjalan, meskipun sudah tidak ada campur tangan lembaga atau aparat pemerintah dan swasta yang mendukungnya.
Namun, yang terpenting adalah bagaimana pemerintah dapat lebih memperhatikan dan melindungi petani, dimana hal ini terkait dengan program Kementerian Pertanian. Sudah saatnya sebagian dana program, seperti kredit usaha rakyat, disalurkan dalam bentuk pembiayaan syariah. Karena itu, penulis berharap mulai dari APBN 2013, Kementan bisa mengalokasikan dananya, misalnya 30 persen dari dana program yang ada, untuk disalurkan dalam bentuk pembiayaan syariah. Ini adalah bentuk kebijakan yang secara kongkrit akan mendongkrak pembiayaan syariah untuk pertanian.


Daftar Pustaka
Aji, Ibrahim. 2013. “Pembiayaan Syariah Untuk Petani”. Sharing Edisi 75 Thn VII
Muspriyanto, Edy. (11 Maret 2012). Petani Menipis di Negeri Agraris. Diperoleh 18 Juni 2013, dari http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/11/179899/

No comments:

Post a Comment